Sabtu, 23 Juli 2011

George Harrison 'N' World Music

Sungguh sebuah kejutan ketika George Harrison belajar sitar kepada Ravi Shankar, tahun 1966. Ravi Shankar adalah virtuoso musik etnik dari timur, sementara sang murid adalah lead guitar The Beatles, band rock n’ roll legendaris Inggris. Ada apa gerangan dengan George?

Pada 1967, ketika The Beatles merilis album “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, terdapat satu single manis berlatar musik etnik ciptaan George Harrison, “Within U Without U”, yang konon terinspirasi dari kultur musik timur, India.

“Within U Without U” dibuka dengan bunyi sitar George Harrison yang menggema dan legato di tengahnya. Lalu disambut dengan bunyi tabla dan tambora. Kemudian, diisi dengan vokal George Harrison sendiri yang serasa “mendayu”, dengan penggunaan melodi-melodi “sargam” di sepanjang lagu.

Lagu ini bahkan pernah direkam kembali oleh Oasis, band asal Manchester. Lantas, pertanyaannya ialah apakah “Within U Without U” yang idiom musiknya terinspirasi budaya India dan Hindu itu termasuk bagian dari genre “World Music”? Sebentar… Mari menyimak sekilas sejarah kemunculan “World Music” dulu.

World Music

Istilah “World Music” pertama kali dipopulerkan pada tahun 1960-an oleh etnomusikolog Robert Robert E. Brown. Istilah ini muncul untuk menyebutkan genre musik yang menggunakan ornamen-ornamen dan model musik etnik dunia, Afrika awalnya.

“World Music” semakin popoler ketika ketika “World Music Day” digelar di Prancis, 21 Juni 1982 (hari itu kemudian diabadikan sebagai hari musik sedunia). Salah satu album yang menjadi sorotan saat itu adalah milik Paul Simon, “Graceland” yang dirilis pada 1986. Konsepnya menggunakan ornamen-ornamen musik dari Afrika Selatan, juga melibatkan Ladysmith Black Mambo dan Savuka.

Demikian juga halnya proyek yang dikerjakan Peter Gabriel (eks-frontman band Genesis) dan Johnny Clegg, semisal: “Asimbonanga”, single yang mengadopsi musik dari kultur Afrika.

“Concert for Bangladesh”

Pada gelaran “International Seminar and Workshop on Musical Composition” yang diselenggarakan oleh UNIMED bekerjasama dengan Rumah Musik Suarasama Medan, Selasa 18 November hingga Rabu 19 November silam, pembahasan mengenai “World Music” pun tak lepas dari pembahasan.

Seperti dikutip dari wawancara Radio France Internationale, France tahun 1998, Irwansyah Harahap dan Jerome Samuel menjelaskan istilah “World Music” mulai muncul dan dipopulerkan ketika musisi dari barat (western) terinspirasi oleh musik dari beberapa etnis di seluruh dunia (non-western).

Pada perkembangannya tak sedikit pemusik barat yang mulai bekerjasama membuat musik dengan beberapa musisi dari Afrika dan Asia. Musik itu kemudian tercipta untuk mewakili musik yang ada di seluruh dunia. Bahkan, ketertarikan itu kemudian muncul dari beberapa musisi yang sebelumnya berkiprah di genre pop dan rock.

Nah, jika demikian, barangkali ada benarnya jika George Harrison adalah salah satu ikon pop dan rock n’ roll yang telah serta merta mempopulerkan “World Music”. Bisa kita lihat, misalnya, ketika ia bersama Ravi Shankar juga merilis album yang berlatar etnik timur, India.

“Chants of India” yang dirilis pada tahun 1997 merupakan sebuah proyek fenomenal George Harrison dengan Ravi Shankar, yang dijuluki sebagai “The Godfather of World Music” dari timur itu.

Yang lebih dahsyat ialah ketika George Harrison dan Ravi Shankar menggagas dan menggelar “Concert for Bangladesh” yang digelar di New York’s Madison Square, 1 Agustus 1971 yang dipadati sekitar 40.000 penonton.

Konser yang digelar untuk membantu para pengungsi semasa Perang Pembebasan Bangladesh itu dibuka oleh permainan sitar Ravi Shankar. Konser ini juga melibatkan musisi-musisi besar seperti Bob Dylan, Eric Clapton, Leon Russel, Badginger, Billy Preston dan drumer Ringo Star, drumer The Beatles.

“I Hate World Music“

Namun, pelabelan “World Music“ sendiri tak lepas dari kritik. Apalagi ketika istilah itu disetarakan dengan istilah “Etnic Music“. Masalahnya, jika musik dari Eropa yang juga berlatar dari etnik atau kultur Eropa disebut sebagai musik etnik, tentu telah terjadi ketidakseimbangan.

Jika musik non-western dikatakan musik etnik, lantas bagaimana pula pemusik non-western menyebut musik western (musik klasik misalnya), dari kultur (etnik) Eropa. Istilah itu justru akan seperti melecehkan musik dari non-western (atau negara dunia ketiga).

Ini seperti yang pernah dikomentari Ravi Shankar suatu kali.

“Sebenarnya kalau dikatakan musik etnis tidak juga. Karena, istilah itu seakan-akan merendahkan. Istilah ’trans-cultural music’ atau ’inter-cultural’ lebih tepat,“ kata Irwansyah Harahap, etnomusikolog yang secara serius pernah mendalami musik di University of Washington Seattle, AS.

Irwansyah mendukung argumennya dengan menjelaskan komposisi musik “Here and There“, yang ia garap bersama Rumah Musik Suarasama. Musik ini sendiri ditulis dengan mengadaptasi idiom musik gambus Melayu, Arab dan India dengan menggunakan notasi musik “sargam“ dari India/Pakistan. Dan pernah dipertunjukan secara akbar pada perhelatan “Yogyakarta Gamelan Festival 1998“.

Salah satu musisi yang cukup keras menentang istilah “World Music” adalah David Byne. Kritik tajamnya ia kemukakan dalam artikelnya “I Hate Wold Music” yang diterbitkan di harian The New York Times, 3 Oktober 1999.

“Mengapa saya benci istilah itu? Karena istilah itu mengkelas-kelaskan segalanya dari hal yang bukan bagian dari ‘kita’ menjadi ‘mereka’,” tulisnya.

Ya, apa pun ceritanya, “World Music” tak boleh dipungkiri telah menjadi bagian dari sejarah musik di dunia sejak dimulai sejak era “Abad Pertengahan” (Middle Age), “Baroque”, Renaisains, Romantis. Sepanjang manusia masih ada, begitu juga musik akan hidup dan tumbuh.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar